Sumedang. bpsk-sumedang.com – Belakangan ini banyak konsumen maupun Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) mengeluhkan pengaduannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ada yang ditolak, atau ketika diterima dan diputus menang tetapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) maupun Mahkamah Agung (MA). Kasus semacam ini sering terjadi terutama dalam perkara penarikan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector dari lembaga pembiayaan.
Namun, sesungguhnya persoalan tersebut bukan semata soal keberpihakan, melainkan menyangkut batas kewenangan dan yurisdiksi antar lembaga hukum.
Mengapa BPSK Sering Dianggap “Tidak Berdaya”?
BPSK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan (Pasal 52 huruf a UUPK).
Dalam banyak kasus, BPSK memang cenderung berpihak pada konsumen, khususnya saat menghadapi tindakan penarikan paksa kendaraan oleh debt collector (DC). Berdasarkan sejumlah pertimbangan hukum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) karena:
- Melanggar ketentuan hukum fidusia.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019, eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, misalnya kendaraan bermotor hanya boleh dilakukan melalui penetapan pengadilan, kecuali debitur secara sukarela menyerahkan barang yang dijaminkan. Dengan demikian, praktik penarikan paksa tanpa persetujuan debitur merupakan pelanggaran hukum.
- Melanggar hak konsumen sebagaimana diatur dalam UUPK.
Pasal 4 UUPK memberikan hak kepada konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan barang dan/atau jasa. Tindakan intimidatif, kekerasan, atau ancaman oleh DC dalam proses penagihan jelas melanggar prinsip tersebut.
- Menghilangkan hak atas keadilan.
Dalam beberapa kasus, BPSK bahkan memerintahkan pelaku usaha untuk mengembalikan kendaraan yang ditarik secara melawan hukum sebagai bentuk pemulihan hak konsumen.
Namun, meskipun BPSK berupaya melindungi kepentingan konsumen, putusan lembaga ini kerap kandas di pengadilan ketika pelaku usaha mengajukan keberatan.
Kewenangan yang Tumpang Tindih
Ketika pelaku usaha mengajukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK, banyak putusan BPSK akhirnya dibatalkan dengan alasan BPSK tidak berwenang menangani sengketa di sektor jasa keuangan.
Dasar pertimbangannya adalah bahwa sengketa yang melibatkan perusahaan pembiayaan, perbankan, atau asuransi dianggap merupakan kewenangan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK) yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, dan
- Peraturan OJK (POJK) Nomor 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan.
Ketiadaan batas tegas antara kewenangan BPSK dan LAPS-SJK sering kali menimbulkan tumpang tindih yurisdiksi, sehingga membuka peluang bagi pengadilan untuk membatalkan putusan BPSK, bahkan dengan alasan yang tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundangan.
Akibatnya, putusan BPSK yang sudah memenangkan konsumen menjadi tidak dapat dieksekusi dan secara hukum dianggap “tidak pernah ada”.
Langkah Tepat bagi Konsumen, Pahami Jalur Hukum yang Benar
Agar perjuangan konsumen tidak berakhir sia-sia, penting untuk memahami lembaga mana yang berwenang sesuai dengan jenis sengketa yang dihadapi.
Berikut beberapa jalur penyelesaian yang bisa ditempuh :
- LAPS-SJK (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan)
Jika sengketa melibatkan perusahaan pembiayaan, bank, atau asuransi, pengaduan lebih tepat diajukan ke LAPS-SJK. Lembaga ini memiliki legitimasi dari OJK, dan keputusannya diakui secara hukum di sektor jasa keuangan. *(Walau secara pribadi penulis tidak menyarankan). - Pengadilan Umum (Perdata)
Untuk kasus wanprestasi atau pelanggaran kontrak, jalur pengadilan umum dapat ditempuh. Meski prosesnya lebih panjang, putusan pengadilan memiliki kekuatan eksekusi yang lebih kuat.
- Laporan Pidana ke Kepolisian
Bila terdapat unsur kekerasan, ancaman, atau perampasan barang secara paksa, maka dapat dilaporkan ke kepolisian. Berdasarkan Putusan MK 18/PUU-XVII/2019, penarikan tanpa prosedur hukum yang sah termasuk tindak pidana.
- Pengaduan ke OJK
Untuk praktik penagihan tidak etis atau melanggar ketentuan OJK, pengaduan dapat langsung diajukan ke OJK sebagai regulator sektor jasa keuangan.
Langkah Bijak Sebelum Mengadu
Sebelum melangkah lebih jauh, konsumen dan LPKSM perlu memperhatikan beberapa hal penting :
- Pilih lembaga yang tepat.
Pastikan jalur penyelesaian sesuai dengan jenis sengketa. Untuk sektor jasa keuangan, utamakan pengadilan umum atau LAPS-SJK.
- Perkuat bukti.
Rekaman, saksi, dokumen perjanjian, dan bukti komunikasi dapat memperkuat posisi hukum konsumen.
- Laporkan unsur pidana jika ada kekerasan.
Ini dapat menjadi tekanan hukum tambahan terhadap pelaku usaha.
- Konsultasi dengan ahli hukum atau LPKSM berpengalaman.
Pendampingan hukum yang tepat dapat membantu menentukan langkah strategis dan efisien.
Menemukan Keadilan Tanpa Tersesat di Jalur Hukum
Pada akhirnya, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bukanlah lembaga yang salah atau lemah. BPSK bekerja berdasarkan mandat dan batas kewenangan yang jelas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Ada rambu-rambu hukum yang tidak bisa dilanggar.
Ketika sebuah perkara telah menyentuh ranah jasa keuangan yang menjadi wilayah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka BPSK tidak dapat melampaui yurisdiksi tersebut. Namun demikian, posisi BPSK tetap strategis sebagai garda terdepan dalam perlindungan konsumen, Berdasarkan Permendag Nomor 72 Tahun 2020 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pasal 3 dan Pasal 4 menegaskan bahwa BPSK bertugas melakukan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan secara cepat, murah, dan sederhana, serta memberikan konsultasi dan edukasi kepada masyarakat konsumen.
Dan berdasarkan fakta di lapangan, banyak pengaduan konsumen terkait sektor pembiayaan yang tetap difasilitasi oleh BPSK untuk proses mediasi tanpa menabrak batas hukum yang berlaku. Di beberapa BPSK bahkan melakukan terobosan progresif dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada pengadilan negeri setempat agar putusan BPSK tidak dibatalkan di tingkat peradilan. Langkah ini sejalan dengan asas koordinasi antar lembaga peradilan dan lembaga penyelesaian sengketa non-litigasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (1) UUPK, yang memberi ruang bagi upaya pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah terhadap BPSK. Sayangnya, belum semua pengadilan negeri bersedia membuka ruang kolaborasi serupa. Karena itu, penting bagi BPSK dan masyarakat konsumen untuk memahami arah hukum yang benar sebelum menempuh jalur lanjutan.
Dalam konteks ini, pendampingan kepada konsumen menjadi sangat penting. Konsumen perlu dibimbing agar memahami arah dan jalur hukum yang benar sebelum menempuh langkah lanjutan. Dengan memahami peta hukum secara utuh, konsumen dapat menuntut keadilan tanpa tersesat di jalurnya.
Sebab, keadilan bukan hanya tentang siapa yang berwenang, melainkan juga tentang kebijaksanaan dalam memilih jalan hukum yang tepat.