Bolehkah Menggabungkan Gugatan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum?

ARTIKEL PUBLIKSI

Dalam praktik hukum perdata di Indonesia, penggabungan gugatan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (PMH) sering menjadi perdebatan panjang di kalangan praktisi dan akademisi hukum. Secara umum, kedua dasar gugatan tersebut tidak dapat diajukan secara bersamaan dalam satu perkara karena memiliki karakter hukum dan unsur pembuktian yang berbeda secara mendasar.

Namun, dalam kenyataannya, ada pula beberapa kasus di mana penggabungan dua dasar hukum ini dikabulkan oleh hakim, dan putusan-putusan tersebut bahkan menjadi yurisprudensi yang memunculkan diskusi menarik di dunia hukum perdata Indonesia.

Perbedaan Mendasar antara Wanprestasi dan PMH

Untuk memahami mengapa keduanya sulit digabung, perlu diketahui perbedaan mendasarnya:

  • Wanprestasi merupakan pelanggaran terhadap kewajiban dalam suatu perjanjian yang sah. Artinya, hubungan hukum antara para pihak sudah diikat melalui kontrak, namun salah satu pihak tidak memenuhi apa yang dijanjikan. Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
  • Perbuatan Melawan Hukum (PMH), sebaliknya, tidak memerlukan adanya perjanjian sebelumnya. PMH timbul ketika seseorang melakukan tindakan yang melanggar hak orang lain dan menyebabkan kerugian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Mengapa Penggabungan Gugatan Sering Ditolak Hakim?

Hakim umumnya menolak penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH karena hal itu dapat membuat gugatan menjadi kabur atau tidak jelas (obscuur libel).

Dalam hukum acara perdata, kejelasan dasar gugatan sangat penting agar hakim dapat menilai dengan tepat perbuatan mana yang menjadi sumber kerugian. Jika penggugat tidak dapat membedakan apakah kerugiannya berasal dari pelanggaran perjanjian atau dari perbuatan melanggar hukum, maka gugatan dianggap tidak memiliki kejelasan hukum dan berpotensi ditolak.

Pengecualian dalam Praktik dan Yurisprudensi

Meski demikian, tidak sedikit pula putusan pengadilan terutama Mahkamah Agung (MA), yang menerima penggabungan dua gugatan tersebut.

Hal ini biasanya terjadi jika antara wanprestasi dan PMH terdapat hubungan erat atau saling berkaitan secara langsung. Misalnya, tindakan yang dikategorikan sebagai wanprestasi juga secara bersamaan memenuhi unsur-unsur PMH, sehingga keduanya dianggap tidak bisa dipisahkan secara tegas.

Putusan-putusan semacam ini menunjukkan bahwa hukum perdata bersifat dinamis, dan pertimbangan hakim dapat berkembang sesuai dengan konteks serta fakta konkret dalam setiap perkara.

Langkah Aman: Ajukan Gugatan Secara Terpisah

Bagi pihak yang ingin menuntut haknya, mengajukan gugatan secara terpisah antara wanprestasi dan PMH merupakan langkah paling aman dan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.

Dengan memisahkan keduanya, gugatan akan lebih fokus, terstruktur, dan mudah dipahami oleh majelis hakim, sehingga meningkatkan peluang untuk memperoleh putusan yang adil dan tepat sasaran.

Kesimpulan

Meskipun secara prinsip wanprestasi dan PMH tidak dapat digabung dalam satu gugatan, praktik peradilan menunjukkan bahwa pengecualian bisa terjadi bila dua peristiwa hukum tersebut memiliki keterkaitan erat. Namun, untuk menjaga kejelasan dan kekuatan hukum gugatan, strategi terbaik tetaplah memisahkannya sesuai dengan dasar hukumnya masing-masing

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *